Skin Senpai* of the year 2020

 dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK

Skin Senpai* of the year 2020.

*senpai (先輩, “senior”) a honorific term for more experienced/ upperclass-doctor in Dermatovenereology major.

  • Disusun oleh Contributor Dermapamine: dr. Muthia Kamal Putri, dr. Firyal Maulia, dan dr. Geby Khomaro Putri

        Menjelang akhir tahun 2020, Dokke – begitu kerap beliau akrab disapa, dengan sangat ramah mempersilakan kami, Dermapamine Club, untuk mewawancarai beliau dalam rangka penganugrahan award special dari kami: Skin Senpai Of The Year 2020 sebagai sosok inspiratif kami dalam belajar dan memupuk serta memantaskan diri untuk dapat belajar lebih baik di bidang keilmuan dermato-venereologi.

        Pada penghujung bulan Desember 2020 kemarin menjadi hari yang berkesan untuk Dermapamine Club untuk bisa berbincang-bincang langsung (sharing tumpah-tumpah bahkan) dengan dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK. Dokke lahir di Semarang, 22 Juni 1979. Beliau merupakan seorang dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, Kepala Departemen dan staff pengajar Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin di Fakultas Kedokteran Jenderal Soedirman (FK Unsoed), seorang istri dari dokter spesialis Bedah Plastik – dr. Ahmad Fawzy, Sp.BP-RE (the famous, @bedahplastik), ibu dari Mikail Ahmad dan Maysara Indah, teman dan supporter buat kami semua sebagai murid beliau.

        Sebelumnya Dokke sempat mengenyam pedidikan di SMA Negeri 3 Semarang Dan kemudian meraih gelar dokter umum dan melanjutkan program ilmu pendidikan spesialis Kulit dan Kelamin di Universitas Diponegoro (Undip). Dokter yang memiliki hobi menyanyi dan olahraga renang ini berpraktik klinis di KSM IKKK RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dan berpratik pribadi di Kimia Farma Purwokerto. Melalui wawancara via zoom meeting, beliau  menyambut tim kami dengan ramah pada sesi wawancara malam itu. Berikut cuplikan wawancara kami dengan beliau:

Selamat malam, dokter, terimakasih sudah meluangkan waktu untuk kesempatan berbincang-bincang dengan kami untuk sesi wawancara Skin Senpai of The Year edisi perdana. Di penghujung tahun ini, Bagaimana kesan dr. Okke terhadap tahun 2020 dan bisakah dokter menceritakan kesibukan apa saja yang sedang dokter jalani di akhir tahun 2020 ini?

Dokke:

Tahun 2020 tahun yang cukup berat untuk semua penduduk dunia. Selama 2020 cukup  berat sebagai dokter dan dosen karena metode pendidikan berubah secara drastis tidak bisa langsung tatap muka. Mungkin untuk mahasiswa preklinik perkuliahan tahap sarjana masih tidak terlalu sulit karena bisa belajar online, yang sulit sekali adalah mahasiswa pendidikan profesi dokter umum. Pendidikan profesi dokter itu kan harus terjun langsung ke lapangan bertemu pasien baik di rumah sakit dan puskesmas jadi terjadi kesulitan. Secara umum, jumlah pasien yang datang ke RS pendidikan rujukan tipe B berkurang drastis karena kasus-kasus pasien yang diagnosis SKDI level 4 harus sudah selesai di tingkat fasilitas kesehatan tingkat 1. Tapi hal ini masih terbantu karena mahasiswa profesi dokter FK UNSOED langsung terjun ke PUSKESMAS jadi masih ada kesempatan untuk bertemu kasus-kasus SKDI 4. Mahasiswa profesi yang bisa masuk ke RS pendidikan juga dibatasi menjadi hanya 50% jumlah total, terbagi menjadi separuhnya melalui pembelajaran online yang menurut saya sangat amat kurang. Tapi apa boleh buat, lebih baik kurang daripada tidak sama sekali. Selaku dokter pun saya terpengaruh, pasien-pasien yang membutuhkan perawatan berkelanjutan tiba-tiba berhenti kontrol karena pandemi. Pasien-pasien tersebut setelah berapa lama lepas kontrol, akhir-akhir ini kembali kontrol datang dengan kondisi keluhan kulit yang memburuk tidak terkontrol dengan baik. Apa boleh buat karena sekarang penyakit-penyakit kulit saat ini tidak menjadi terlalu menjadi prioritas, semua fokus diarahkan untuk penanganan pasien COVID-19. Kebetulan saya juga cuti akademik dari program S3 jadi kegiatan saya lebih longgar, saya tidak bisa bayangkan kalau tidak cuti sulitnya.

Sebelumnya, bisa jelaskan terlebih dahulu perjalanan karir dokter dari SMA hingga saat ini?

Dokke:

Saya dulu di SMA 3 Semarang 1997, lalu pindah kelas ke FK UNDIP karena banyak teman-teman SMA seangkatan saya banyak sekali yang juga masuk FK UNDIP. Saya lulus dokter umum bulan Agustus 2003. Waktu itu saya ada jeda dulu satu tahun karena pendaftaran pendidikan spesialis kulit FK UNDIP baru dibuka tahun 2004. Saya cukup beruntung karena mendapat teman-teman pendidikan spesialis yang sangat suportif. Sahabat saya ada 5 orang satu periode (dr. Ikwandi, Sp.KK, dr. Arthur Samuel, Sp.KK, dr. Dianna Affandi, Sp.KK, dr. Dhega Anindita, Sp.KK).

 Pesan saya untuk dokter umum yang nantinya ingin menempuh pendidikan dokter spesialis kulit dan kelamin, usahakan untuk menyelesaikan semua tugas tiap tingkatan dengan tepat waktu jangan ditunda-tunda.

Firyal:

Bener ya dok, jangan sistem kebut semalam

Dokke:

Kalau bisa tugas-tugas dikerjakan dalam tim supaya bisa kerjasama agar tugas lebih cepat selesai. Saya juga mendapat bantuan dari sahabat saya terutama dr. Ikwandi dan dr. Arthur. Kalau tidak ada mereka saya juga kepontal2 (keteteran) menyelesaikan tugas selama PPDS.

Apa yang melatarbelakangi dokter memilih untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang spesialis Kulit dan Kelamin?

Dokke:

Dulu waktu saya wawancara ppds ditanya kenapa mau masuk spesialis kulit dan kelamin? Saya ingin bisa berkontribusi menjadi dokter tapi tidak melupakan peran saya menjadi wanita bisa menjadi istri dan ibu. Saya tidak mau menghabiskan waktu saya 24 jam di RS dan membuat urusan keluarga saya nanti jadi terbengkalai. Alasan pertama saya itu, baru kemudian bumbu2nya. Pokoknya saya mau jadi dokter tapi juga ingin jadi ibu rumah tangga yang baik.

        Justru kalau kalian punya priotitas akan menjadi nilai lebih. Kalau wawancara itu sebenarnya ikuti kata hati kalian yang ingin kalian sampaikan yang menjadi latar belakang kalian selama pendidikan.

Muthia:

Tapi itu kontrakdiktif sih dok, banyak yang jadi ambil cuti karena hamil di tengah pendidikan spesialis sehingga studinya jadi tertunda.

Dokke:

Nah itu kembali ke prioritas dan pilihan masing-masing. Kalau saya lebih memilih untuk menyelesaikan pendidikan dulu baru berkeluarga supaya lebih fokus dan di tengah-tengah pendidikan tidak banyak hambatan.

Pertanyaan selanjutnya, Siapakah sosok dermatologist yang menjadi role model untuk dokter?

Kalo saya sih role model kenapa saya mau jadi dokter spesialis kulit dan kelamin awalnya justru sebenarnya ga ada sama sekali. Tapi justru setelah saya menjalani prosesnya, baru saya ada sosok yang menginspirasi. Kebetulan beliau masih family saya meskipun agak jauh. Beliau adalah Prof. dr. Kabulrachman, Sp.KK(K) FINSDV FAADV. Beliau ada guru besar yang sangat murah hati, tidak pelit dalam ilmu, beliau juga mau terus belajar – bahkan saya selalu malu kalo liat beliau di ruangannya sedang menulis artikel, ‘Aduh saya yang masih sekolah rasa nya malu banget karena saya aja jarang menulis saat itu’

Dari berbagai cabang keilmuan Kulit dan Kelamin, di bidang mana saja yang menjadi passion terbesar dokter?

Kalau saya sih minat dermato-venereologi secara umum, jadi saya gak memilih-milih kasus tertentu yang saya minati. Tapi kalo untuk keanggotaan sendiri sih saya tergabung dalam KSDAI (Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia), KSIMSI (Kelompok Studi Infeksi Menular Seksual Indonesia), KSMHI (Kelompok Studi Morbun Hansen Indonesia), KSDLI (Kelompok Studi Dermatologi Laser Indonesia).

Momen-momen berkesan dan tantangan-tantangan yang dirasakan selama pendidikan atau selama menjadi dokter spesialis Kulit dan  Kelamin?

Semua berkesan kok karena itu semua membentuk karakter kita. Selama sekolah tidak selalu jalannya mulus, banyak kerikil tajam bahkan seperti pisau.  Tekanan itu tidak hanya datang dari diri sendiri, keluarga namun juga dari rekan-rekan. Tapi semua hal itu  baik positif maupun negative yang membuat kita menjadi kepribadian dan karakter yang tangguh Sehingga jika berhadapan dengan tembok yang tinggi, kita tidak hanya berdiam diri atau bahkan mundur, tapi kita mencari cara untuk melangkah maju.

Tekanan dari diri sendiri akan tetap ada, fase kebosanan pun akan ada, tapi balik lagi pentingnya partner selama Pendidikan yang jika kita terjatuh dapat berkata “AYO KITA LARI LAGI!”

dr.ismiralda oke putranti, sp.kk

Beruntungnya saya mendapat teman-teman yang seperti itu, walaupun selama Pendidikan saya sempat terseok-seok, namun tetap dapat selesai lebih cepat.

        Selama menjadi dokter spesialis kulit dan kelamin adalah ketersediaan obat dan terapi. Jika mengusulkan sesuatu, tidak bisa di-acc langsung. Pengalaman saya, minta lalu 5-6 tahun baru ada. Jadi kita harus bisa melakukan variasi dan management pasien dengan segala keterbatasan yang ada. Obat-obatan ini menangani secara fisik ya, namun jika psikis tidak tersentuh, tidak akan ada perbaikan yang diinginkan. Makanya, pentingnya edukasi. Menurut saya, gapapa deh menghabiskan waktu lebih banyak dengan pasien, yang penting mereka bisa menerima penyakitnya dengan baik, dan mereka dapat bertukar pikiran dengan saya, sehingga mereka dapat merasa lebih lega. Dan diharapkan pengobatannya pun dapat berjalan dengan lebih baik.

Pesan dan Kesan untuk kami, mahasiswa kedokteran dan dokter umum —  yang bercita-cita menjadi seperti dokter?

       Jika kita menjadi dokter, jalanilah seperti asal kata dokter yaitu docius artinya pendidik. Tugas kita bukanlah menyembuhkan pasien namun memberi edukasi. Sehingga dapat me-manage pasien. Seperti yang tadi saya bilang, jika pasien tidak ada semangat ya mau dikasih obat apapun tidak akan sembuh.  Jadi edukasi itu penting sekali, dan untuk menjadi dokter yang baik, maka dasar ilmunya juga harus baik dan jangan lupa dalam bekerja harus dalam koridor kompetensi. Sesuaikan dengan kompetensinya. Jika ingin memiliki kompetensi yang lebih mahir ya silahkan mengambil sekolah spesialis sehingga kita bisa menyelenggarakan pelayanan yang kita tidak hanya bisa mengerjakan saja tapi juga kompeten di bidangnya.

       Secara umum yang saya dapatkan dari mahasiswa kedokteran sekarang, terkait juga dengan program Pendidikan adalah dari segi fisiologis. Belajar penyakit itu harus tau fisiologisnya dulu, jika tidak tau fisiologisnya, gimana mau ngerti patofisiologisnya. Kalo kamu ngerti fisiologisnya, mau patofisiologisnya ruwet kamu pasti akan tetap ngerti. Sistem Pendidikan sekarang lebih Student-based sehingga mahasiswa diminta untuk belajar sendiri (ia bagus bagus aja) tapi jika tidak stimulus dari dosen, mereka juga akan bingung yang mau dipelajarin apa, kalau ada stimulus jadinya terarah. Bolehlah mahasiswa belajar sendiri, tapi tetap harus ada guidance, apa saja yang harus dikuasai.

Pesan dan kesan dokter Okke untuk Tim Dermapamine?

Saya sangat support dan appreciate tim dermapamine. Bukan cuma kalian aja yang belajar, tapi supervisor nya juga, misal kalian mau menampilkan sesuatu, mereka sebelum memberikan masukan juga harus belajar lagi, harus baca lagi. Jadi sama-sama mengupdate ilmu. Platform ini sangat membantu. Jadi istilahnya seperti memberikan pancingan juga kepada TS, seperti dokter umum yang punya passion di bidang kulit, dan meskipun kalian ga tertarik dengan kulit tapi kalian wajib tau penyakit kulit kompetensi 4. Pesan saya: dipertahankan saja,  buatlah kegiatan-kegiatan yang sifatnya diluar platform IG, seperti webinar kemarin. Itu merupakan hal yang bagus untuk diteruskan.

Leave a Reply